HAJI MABRUR

Pengertian Haji Mabrur

Salah seorang Ulama Hadis Al Hafidh Ibn Hajar al’ Asqalani dalam kitab Fathul Baarii, syarah Bukhori Muslim menjelaskan: “Haji mabrur adalah haji yang maqbul yakni haji yang diterima oleh Alah SWT.”
Pendapat lain yang saling menguatkan dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah Muslim: “Haji mabrur itu ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah SWT, yang tidak ada riyanya, tidak ada sum’ah tidak rafats dan tidak fusuq.”
Selanjutnya oleh Abu Bakar Jabir al Jazaari dalam kitab, Minhajul Muslimin mengungkapkan bahwa: “Haji mabrur itu ialah haji yang bersih dari segala dosa, penuh dengan amal shaleh dan kebajikan-kebajikan.” Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh para Ulama di atas tentang pengertian haji mabrur ini, maka dapat kita simpulkan bahwa haji mambur adalah haji yang dapat disempurnakan segala hukum-hukum berdasarkan perintah Allah dan Rasulullah SAW. Sebuah predikat haji yang tidak mendatangkan perasaan riya’ bersih dari dosa senantiasa dibarengi dengan peningkatan amal-amal shalih, tidak ingin disanjung dan tidak melakukan perbuatan keji dan merusak.
Petunjuk Rasulullah SAW Dalam Menggapai Haji Mabrur.
Meskipun pada hakikatnya, bahwa hanya Allah lah yang menentukan dan mengetahui apakah diterima dan tidaknya haji yang kita tunaikan. Namun melalui penjelasan yang bersumber dari Rasulullah SAW, setidaknya menjadi penguat bagi kita untuk lebih berharap kepada Alah SWT agar ibadah haji yang kita tunaikan menjadi haji mabrur. Petunjuk Rasulullah Saw sebagaimana dijelaskan dalam hadis-Nya dalam menggapai haji mabrur antara lain:
Pertama, Tunaikanlah ibadah haji dengan benar-benar berangkat dari motivasi dan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Kedudukan niat dalam setiap ibadah dalam Islam menempati posisi yang sangat penting, bahkan niat menjadi penilaian dari setiap arah dan tujuah ibadah yang kita yang tunaikan.
Begitu juga halnya dengan pelaksanaan ibadah yang memerlukan kesanggupan materil dan sprituil ini. Penegasan dan pelurusan niat yang benar-benar harus ditujukan dalam rangka mencapai ridha Allah SWT secara ekplisit dijelaskan dalam firman-Nya: “Dan tidaklah mereka disuruh kecuali melainkan untuk menyembah Allah SWTdan mengikhlaskan agama (semata-mata) karena Allah.” (QS. AL Bayyinah: 5)
Penegasan niat di atas dikuatkan lagi oleh Rasulullah SAW, yang dijelaskan dalam sabdanya: “Sesungguh setiap perbuatan tergantung dari niatnya dan masing-masing mendapat pahala dari niatnya itu.” (Muttafaq’ Alaihi). Oleh karena haji harus benar-benar diniatkan karena Allah SWT. Apalagi haji ini, sangat sarat dengan perasaan riya’ dan sum’ah, mengingat tidak semua orang dapat menunaikan ibadah ini, seperti halnya ibadah-ibadah lainnya.
Tidak sedikit orang menunaikan ibadah haji lantaran ingin mendapat prestise “Haji” sehingga dijadikan sebagai alat memperkuat status sosialnya, khususnya untuk mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat.
Kedua, segala biaya dan nafkah yang digunakan untuk menunaikan ibadah haji haruslah benar-benar bersumber dari yang halal. Apa sebenarnya yang ingin kita capai dari pelaksanaan haji ini ?
Tidak lain ingin menyempurnakan sesuatu yang prinsipil terhadap keberislaman kita, sehingga kita termasuk orang-orang yang dekat kepada-Nya. Jadi, apa artinya haji yang akan kita tunaikan, jika ternyata bukan mendekatkan diri kita kepada Allah. Setiap ibadah yang kita tunaikan dengan biaya yang bersumberkan dari yang haram, tidak akan bernilai di sisi Allah SWT dengan kata lain ibadah hajinya akan ditolak (ma’zur).
Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW:” Jika seseorang pergi menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halaldan kemudian diucapkannya, “Labbaikallaahumma labbaik ( ya Allah, inilah aku datang memenuhi panggilan-Mu). Maka berkata penyeru dari langit: “Allah menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia. Pembekalanmu halal, pengangkutanmu juga halal, maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa.”
Sebaliknya, jika ia pergi dengan harta yang haram, dan ia mengucapkan: “Labbaik”. Maka penyeru dari langit berseru: “Tidak diterima kunjunganmu dan engkau tidak berbahagia. Pembekalanmu haram, pembelanjaanmu juga haram, maka hajimu ma’zur (mendatangkan dosa) atau tidak diterima.” (HR. Tabrani).
Meskipun terdapat khilafiah tentang sah tidaknya haji dengan biaya yang haram, akan tetapi berdasarkan hadis Rasulullah SAW dan logika/ akal sehat kita sendiri, bagaimana mungkin haji kita berkenan disisi Allah SWTsedangkan biaya pelaksanaannya bersumber dari yang tidak diridhai Allah SWT.
Ketiga, Melakukan manasik hajinya dengan meneladani dan mempedomani manasik haji Rasulullah SAW. Ini sudah pasti dan dapat dipahami, karena ibadah haji merupapakan ibadah mahdhah yang cara pelaksanaanya mutlak harus mempedomani Rasulullah SAW.
Jadi, manasik haji yang kita lakukan harus benar-benar sesuai dengan manasik haji yag dilakukan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sadanya: “Hendaklah kamu mengambil manasik hajimu dari aku.” (HR. Muslim). Alangkah baiknya, jika setiap kita yang ingin menunaikan ibadah haji ini, terlebih dahulu mempelajari dengan sebaik-baiknya manasik haji Rasulullah SAW. Manasik haji ini sangat menentukan mabrurnya haji kita atau tidak, dan manasik haji yang tepat dan benar adalah manasik hajinya Rasulullah SAW.
Keempat, Ibadah haji yang ditunaikan harus mampu memperbaiki akhlak dan tingkah laku. Sesudah kembali dari tanah suci, dan dapat menyelesaikan manasik hajinya secara sempurna, mulai dari berihram di maiqat yang telah ditentukan, thawaf di keliling baitullah, sa’I antara Shafa dan Marwah, wuquf di ‘Arafah, mabit di Muzdalifa.
Melontar jumrah dan bermalan di Mina, thawaf ifadlah dan akhirnya thawaf wada’ ketika kembali ke tanah air, sesuai dengan kitabullah dan petunjuk Rasulullah SAW (tidak rafats, tidak fusuq dan tidak bertengkar/bermusuhan), maka itu semua menjadi sarana untuk merefungsionalisasikan tujuan hidup kita agar kembali kepada fitrah yang sebenarnya, yakni menjadi manusia yang memiliki akhlak yang terpuji. Kita harus mengingat bahwa tujuan ibadah dalam Islam, tidak terkecuali ibadah haji adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Upaya pendekatan ini sekaligus mensucikan jiwa kita menjadi jiwa bersih sehingga dengan jiwa yang bersih ini melahirkan perilaku dan akhlak yang mulia (manusia sejati). Ibadah haji yang membentuk perilaku akhlak terpuji dan mulia ini diukur dengan peningkatan amal-amal kebajikan yang kita lakukan, baik terhadap Allah SWT secara vertikal dan hubungan sesama manusia secara horizontal.
Kesimpulan
Tidak satu pun diantara kita yang menginginkan setiap ibadah yang kita lakukan tidak diterima Allah SWT. Pelaksanaan ibadah haji merupakan pelaksanaan yang memerlukan kesanggupan yang lebih besar daripada ibadah lainnya dalam sistem ajaran Islam.
Di samping ibadah ini merupakan ibadah yang berdimensi spiritualitas yang tinggi, juga sangat sarat dengan nilai-nilai sejarah dalam tradisi kenabian yang mengagungkan. Dengan berangkat dari niat yang suci dan ikhlas semata-mata berharap ridha Allah SWT, dengan biaya haji yang halal, mengikuti manasik haji yang dipraktikkan Rasul SAW dan menghiasi dirinya dengan amal-amal shalih dan akhlakul karimah, merupakan indikator ibadah haji di terima Allah SWT. Semoga.
sumber  : dari berbagai sumber